Isu Sosial Kemiskinan Terselubung di Balik Gemerlap Wisata Bali

Isu Sosial Kemiskinan Terselubung di Balik Gemerlap Wisata Bali

Denpasar, Agustus 2025 – Di balik citra Bali sebagai surga dunia yang terus dipoles dengan promosi pariwisata berkelas, realitas sosial di lapisan bawah masyarakat menyimpan cerita yang jauh dari kemewahan. Kemiskinan terselubung, terutama di kawasan non-pariwisata seperti Bali Timur dan Utara, menjadi isu serius yang belum sepenuhnya tertangani oleh program-program pembangunan.

Ironisnya, banyak warga lokal yang hidup dalam garis kemiskinan, hanya beberapa kilometer dari hotel bintang lima dan restoran mewah yang ramai dikunjungi turis asing. Bali mungkin memukau dari luar, tetapi sebagian masyarakatnya masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

Ketimpangan Ekonomi yang Menganga
Menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, tingkat kemiskinan pada Maret 2025 masih berada di angka 4,36%. Angka ini memang terbilang kecil secara nasional, namun menjadi sorotan karena tersebar di kantong-kantong wilayah yang jauh dari pusat ekonomi pariwisata.

“Ketimpangan paling terlihat di daerah seperti Karangasem, Buleleng, dan Jembrana. Infrastruktur pariwisata belum merata, sehingga pendapatan masyarakat juga timpang,” ungkap I Made Wirawan, peneliti sosial dari Universitas Udayana.

Para Pekerja Bayangan di Balik Kemewahan
Di sektor pariwisata sendiri, kemiskinan terselubung dialami oleh pekerja informal seperti tukang bersih vila, juru parkir liar, hingga penjaja makanan keliling. Banyak dari mereka tidak memiliki akses jaminan sosial, gaji tetap, apalagi jenjang karier.

Ni Luh Sari (34), seorang janda dua anak dari desa di Klungkung, sudah bekerja 8 tahun sebagai asisten rumah tangga di vila-vila kawasan Ubud. Gajinya Rp1,2 juta per bulan, tanpa BPJS atau kontrak kerja resmi.

“Orang lihat saya kerja di Ubud, dikira kaya. Tapi saya masih numpang tinggal di rumah orang tua, karena semua gaji habis buat sekolah anak dan utang warung,” ujarnya lirih.

Biaya Hidup Tinggi, Akses Terbatas
Lonjakan harga tanah dan kebutuhan pokok di kawasan wisata juga memberi tekanan besar pada warga lokal. Banyak keluarga asli Bali terpaksa pindah ke pinggiran karena harga sewa melonjak, bahkan mencapai Rp2-3 juta per bulan untuk kos-kosan sederhana di sekitar Canggu dan Jimbaran.

Sementara itu, akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas masih jauh dari harapan di beberapa desa, terutama yang terpencil dan tidak terhubung jalur utama transportasi.

Anak-anak Desa Terpinggirkan
Di sisi lain, potret kemiskinan juga terlihat jelas dari kondisi pendidikan anak-anak. Sebagian dari mereka putus sekolah dini karena harus membantu orang tua bekerja. Beberapa desa di daerah seperti Kubu (Karangasem) dan Seririt (Buleleng) masih memiliki angka putus sekolah yang tinggi.

Salah satu aktivis pendidikan lokal, Komang Sudira, mendirikan program belajar gratis berbasis komunitas di Desa Tejakula. Ia mengatakan:

“Jangan hanya hotel dan bandara yang dibangun. SDM Bali harus diberi kesempatan setara untuk masa depan yang lebih baik.”

Sisi Lain dari Digitalisasi Pariwisata
Kemajuan teknologi juga tidak selalu membawa dampak positif merata. Banyak pelaku UMKM lokal yang kalah bersaing dengan platform digital besar yang mendominasi reservasi hotel, rental, hingga makanan. Tanpa pelatihan literasi digital yang cukup, mereka hanya menjadi “penonton” dalam revolusi pariwisata digital.

Pemerintah & LSM Diminta Lebih Hadir
Berbagai program bantuan sosial memang telah berjalan, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan program desa wisata. Namun, masih banyak penerima manfaat yang belum mendapatkan pendampingan jangka panjang agar bisa lepas dari jerat kemiskinan.

“Pemerintah harus lebih fokus pada pembangunan berbasis komunitas, bukan hanya infrastruktur besar. Partisipasi masyarakat lokal sangat penting,” tegas Dr. Putu Asih, pakar kebijakan sosial.

Harapan di Tengah Ketimpangan
Meski tantangan besar masih ada, harapan tetap tumbuh. Komunitas-komunitas lokal mulai bergerak melalui koperasi desa, program pelatihan kerajinan, dan inisiatif ekonomi kreatif. Bali tidak hanya milik resort mewah dan turis asing. Bali adalah tanah kehidupan dan spiritualitas yang harus adil bagi semua.

“Pariwisata tidak akan pernah berkelanjutan jika masyarakatnya tertinggal. Bali harus indah bagi semua, bukan hanya bagi yang mampu,” pungkas Made Sudana, tokoh pemuda Desa Banjar.

Baca: Darurat Kriminalitas dan Narkotika di Bali